Mewujudkan Pendidikan Guru SD yang Ideal
Kualitas calon
pendidik dapat direpresentasikan dari profil calon guru sebagai lulusan yang
nantinya akan secara langsung terjun di lapangan. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 kompetensi pendidik
mencakup empat aspek: pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial.
Semua kompetensi itu
diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi kepribadian dan sosial dianggap
memiliki tingkat urgenitas yang tinggi. Padahal untuk mencapainya mahasiswa
membutuhkan model pengalaman belajar yang tepat. Dalam situasi seperti itulah
muncul gagasan mendesain pendidikan guru berasrama.
Alternatif Boarding
School
Kompetensi kepribadian
calon pendidik tercermin pada kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
berwibawa, dan mampu menjadi teladan bagi peserta didik maupun masyarakat
secara luas. Selanjutnya kompetensi sosial secara sederhana dapat didefinisikan
kemampuan pendidik dalam berkomunikasi secara efektif kepada peserta didik,
tenaga kependiidkan, wali peserta diidk, dan masyarakat.
Jika “ditilik” dari
ranahnya, kompetensi kepribadian dan sosial merupakan ranah afektif yang
diistilahkan sebagai karakter yang harus dimiliki calon pendidik. Perlu waktu
yang cukup lama dan konsisten untuk mencapai dua kompetensi tersebut. Oleh
karena itu diperlukan suatu gagasan untuk menciptakan calon pendidik yang
tangguh dan bermartabat. Salah satu alternatif solusi yang digunakan adalah
pendidikan berasrama (boarding school).
Dewasa ini negara kita
dihebohkan dengan fenomena “krisis mental”. Artinya, mental masyarakat dianggap
mengalami menurunan karakter dari yang baik menjadi kurang baik. Padahal pada
dasarnya setiap individu didasari dengan potensi baik. Hanya saja setiap
individu mengalami perbedaan pertumbuhan dan perkembangan yang
melatarbelakangi perbedaan hasil dari proses tersebut. Modernisasi yang secara
cepat merubah kebiasaan masyarakat tentunya sangat berpengaruh terhadap cara
LPTK menyiapkan calon-calon pendidiknya.
LPTK perlu mengkaji
agar output dari pendidikan di Perguruan Tinggi dapat menjadi
agen-agen solusi ketika mereka sudah berada di sekolah, khususnya bagi calon
guru SD. Menjadi guru SD adalah suatu keniscayaan. Tanpa keniscayaan seseorang
tidak akan memutuskan untuk menjadi seorang guru, apalagi di SD yang dianggap
cukup susah karena harus mendampingi anak dengan usia antara 7 sampai 14 tahun.
Tuntutan Guru SD
Tidak sembarang orang
bisa menjadi guru SD. Seorang guru SD haruslah menguasai semua mata pelajaran
(guru kelas), luhur budi pekerti, berakhlak baik, sopan, dan memiliki
keterampilan. Peran guru SD tidak hanya sekadar mentransfer materi kemudian
siswa mencatat dan mengerjakan evaluasi. Tapi guru SD haruslah seseorang yang kreatif
sehingga materi yang diberikan dapat diterima siswa dengan cara yang
menyenangkan. Guru SD juga harus turut andil dalam pembentukan karakter siswa.
Sebagai orang tua
kedua di sekolah, guru SD adalah “artis” bagi siswanya. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan guru akan menjadi sorotan oleh siswa, guru, dan juga
masyarakat. Bahkan dalam hal sederhana sekalipun siswa sangat kritis terhadap
penampilan gurunya. Seperti cara berpakaian, cara memakai jilbab, cara
berbicara, bahkan cara memposting tulisan di media sosial sekalipun siswa
sangat peka terhadap hal tersebut.
Salah satu pilar
kesuksesan pendidikan karakter adalah terwujudnya calon guru SD yang ideal.
Mengapa? Pendidikan formal pertama yang diterima anak adalah pendidikan di
jenjang SD. Jika sejak dini terbentuk karakter yang baik maka generasi
berikutnya akan menjadi generasi emas yang handal dan bertanggungjawab.
Sayangya selama ini tidak banyak guru yang mampu menunjukkan “kebenaran”. Guru
hanya memberikan punishment atas kesalahan-kesalahan siswa
tanpa mampu menunjukkan karakter yang patut diteladani oleh anak didik. Jadi
sangat penting bagi mahasiswa PGSD untuk mendapatkan pendidikan karakter
melalui pendidikan berasrama.
Butuh waktu yang
relatif lama bagi sebuah LPTK untuk membentuk karakter calon guru SD.
Pembentukan karakter yang tidak terkontrol dan direncanakan dengan baik tidak
akan berjalan dengan maksimal.
Asrama yang
Berkarakter
“Asrama” berbeda
dengan “hotel”. Jika umumnya asrama hanya digunakan untuk tidur dan melepas
lelah bagi mahasiwa yang jauh dari rumah. Namun asrama mahasiswa PGSD memiliki
peran yang sangat penting bagi pembentukan karakter mahasiswa.
Menurut Orlawski
(1995) asrama tidak hanya berperan sebagai tempat hunian mahasiswa tapi juga
ikut bertanggung jawab dalam proses pembelajaran akademik dan budaya. Oleh
karena itu struktur kepengurusan dalam asrama PGSD harus jelas. Orang-orang
maupun stakeholders yang ikut terjun dalam mengurus asrama juga harus
dipertegas lagi agar pelaksanaan PGSD berasrama tidak “pincang” dan “setengah
hati”.
Di asrama mahasiswa
dibekali kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang softskill dan
hardskill mereka. Mengutip kata-kata salah satu tokoh budaya Indonesia
Cak Nun “Ibarat rumah, Perguruan Tinggi adalah rumah dan jurusan-jurusan itu
adalah sekat/kamar dalam rumah tersebut”.
Artinya tidak dapat
dipungkiri bahwa di dalam 1 rumah itu ada banyak perbedaan-perbedaan. Tidak
perlu terlalu lebar dalam satu universitas. Bahkan dalam satu jurusan saja ada
banyak sekali keragaman. Di antaranya adalah keragaman agama, budaya, asal
daerah, jenis kelamin, bakat, dan karakter secara individu”. Calon guru SD yang
hebat harus mampu menerima perbedaan-perbedaan dengan sikap yang arif dan
bijaksana. Kebiasaan hidup bersama dalam satu asrama selama kurang lebih 4 tahun
tentunya akan membentuk kepribadian mahasiswa.
Pertama, karakter
kemandirian. Tinggal di asrama bersama orang bahyak akan melatih seseorang
hidup mandiri. Penghuni asrama diwajibkan mengurus kebutuhan pribadi mereka
secara individual. Dari merapikan tempat tidur, mempersiapkan makan, mencuci
baju dan membersihkan peralatan makan. Hal ini sangat urgen karena tidak semua
mahasiswa melakukan kegiatan-kegiatan tersebut di rumah. Asrama yang baik
tentunya memiliki pengawas atau ibu asrama sehingga dapat dipastikan tidak ada
mahasiswa yang menggunakan jasa laundry.
Kedua, karakter
kedisiplinan. Disiplin adalah kata yang mudah diucapkan tapi sangat susah
dilaksanakan. Penghuni asrama akan dilatih dan dibiasakan untuk disiplin. Tanpa
pembiasaan maka jiwa disiplin akan sangat sulit terwujud. Sebagai contoh
disiplin bangun tidur, piket, sholat berjamaah, belajar dan berangkat kuliah.
Ketiga, kemampuan
beradaptasi dalam pergaulan. Keragaman kondisi penghuni asrama akan memberi
kesempatan setiap individu untuk beradaptasi. Mahasiswa yang terbiasa dengan
kehidupan dan keluarga kaya akan beradaptasi dengan teman yang kurang mampu.
Mahasiswa yang proaktif akan beradaptasi dengan temannya yang pendiam. Hasil
dari adaptasi itu adalah terwujudnya sikap saling menghormati diantara sesama
penghuni asrama.
Keempat, kemampuan
dalam menekuni agama. Kehidupan berasrama akan mendorong
mahasiwa untuk belajar menekuni agama. Seseorang yang tidak terbiasa sholat
berjamaah akan terbawa arus untuk ikut sholat berjamaah. Mahasiswa yang
sebelumnya tidak pernah menjadi pengajar TPQ akan belajar menjadi ustadzah
karena mendapat giliran program kegiatan asrama.
Masih banyak
pendidikan karakter lain yang dikembangkan di asrama. Seperti pemahaman dalam
budaya, semangat belajar, cara hidup sehat, jiwa gotong royong, kemauan
bertindak jujur. Pendidikan karakter dapat terwujud jika ada “pembiasaan”.
Pembiasaan itu sendiri dapat diwujudkan melalui “pendidikan berasrama”. Mari,
membumikan PGSD berasrama.
Sumber : https://unnes.ac.id/gagasan/mewujudkan-pendidikan-guru-sd-yang-ideal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar